Reformed Faith & Gibranism: On Love

Tema “Kasih” dalam pikiran manusia modern cenderung dinilai kurang menarik untuk didiskusikan secara cermat berdasarkan kebenaran karena banyak orang menganggap “kasih” tidak menonjolkan keunggulan akal budi, kedalaman refleksi, keakuratan analisa maupun kecanggihan teknologi manusia. Namun sejak tahun 1997, tema ‘Kasih’ mulai marak dibicarakan dalam muatan-muatan filosofis maupun mistis, dan puisi-puisi romantis mulai marak dikutip oleh para muda-mudi yang sedang kasmaran mencari cinta mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka jatuh cinta terhadap setiap kutipan-kutipan dan buku-buku sastra bernada cinta karya seorang novelis Lebanon bernama Kahlil Gibran. Terlintas dalam benak penulis untuk mencermati sebuah pertanyaan : Benarkah kasih yang diekspresikan dalam bahasa cintanya adalah kebenaran? Penulis menilai Gibran adalah seorang humanis-postmodernis-ekumenis.

Kahlil Gibran lahir pada tahun 1883 di Bsharri, sebuah desa kecil yang memiliki pemandangan yang indah menghadap ke arah Laut Mediteranian. Ia dilahirkan dalam keluarga Katolik Maronite yang sederhana. Ayahnya, Kahlil Bin Gibran, hanyalah seorang petani. Ibunya, Kamila, adalah seorang anak pendeta, fasih berbahasa Inggris, Arab dan Perancis serta mahir bermain musik. Saudara Gibran yaitu Mariana dan Sultana. Akibat pergolakan politik, tahun 1894 mereka pindah ke Boston, Amerika Serikat dan menyewa tempat tinggal di daerah China Town, kompleks imigran Arab. Kahlil Gibran dikenal sebagai anak yang pintar di sekolah, bahkan nilai tertinggi yang diperolehnya jauh melampaui nilai yang diperoleh oleh anak-anak lokal maupun imigran lainnya. Tahun 1896-1901 ia kembali ke Lebanon untuk mempelajari Sastra Arab di Madrasah Al-Hikmah. Tahun 1901-1903 Kahlil Gibran ke Paris untuk studi dan menulis buku. Tahun 1903 Sultana, Peter, ibunya meninggal dunia. Gibran sangat terpukul karena ia sangat dekat dengan ibunya. Ia menggambarkan ibunya sebagai nama penuh harapan dan cinta, penghibur dalam kesempitan, harapan dalam sengsara, kekuatan dalam kelemahan, sumber cinta, sumber keramahan, sumber simpati dan sumber maaf. Tahun 1904, atas dukungan dari guru gambarnya, Kahlil Gibran memberanikan diri untuk mengadakan pameran lukisan di Fred Holland Day, Boston. Namun hasilnya mengecewakan. Sedikit pengunjung yang mau masuk ke dalam galerinya, bahkan dirinya banyak dikritik dan ditertawakan orang. Tapi ada seorang perempuan bernama Mary Haskell yang menyukai karyanya (kemungkinan Haskell jatuh cinta kepada Gibran) dan mereka menjadi kawan akrab. Tahun 1908, Mary Haskell membiayai Gibran untuk studi memahat di Academia Jullies Ecole des Beaux Arts selama 2 tahun. Tahun 1910 Gibran kembali ke Boston dan kembali berkarya. Tahun 1912 Gibran pindah ke New York . Tahun 1931 Kahlil Gibran meninggal dunia di rumah sakit St. Vincent sebelum meminang May Ziadah, kekasihnya.

Setiap pemikiran dari Kahlil Gibran tidak dapat dilepaskan dari konsep cinta kasih. Gibran membagi cinta kasih ke dalam empat karakter utama:

1. Cinta Kasih dan Kebebasan. Pusat dari cinta kasih adalah terletak pada hati, dimana tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diatur, tidak bisa direncanakan. Bagi Gibran, setiap orang berhak memberikan cinta, menentukan cinta, memilih cinta, memutuskan cinta kepada siapa saja, karena cinta kasih adalah hak setiap orang yang paling asasi dan tidak boleh ada yang melakukan intervensi terhadapnya. Gibran juga percaya bahwa cinta kasih merupakan satu-satunya kebebasan di dunia yang menaikkan derajat diri ke tingkat yang lebih tinggi, yang tidak dapat dicapai oleh manusia, hukum maupun alam. (Love one another, but make not a bond of love. Let it rather be moving sea between the shores of your souls. Fill each other’s cup but drink not from one cup. Give one another of your bread but eat not from the same loaf. Sing and dance together and be joyous, but let each one of you be alone. Even as the strings of a lute are alone though they quiver with the same music. Give your heart, but no into each other’s keeping. For only hand of life can contain your hearts. And stand together yet not too near together. For the pillars of the temple stand apart. And the oak tree and cypress grow not in each other’s shadow)

2. Cinta Kasih dan Keindahan. Ibaratnya seperti pohon tidak bisa dilepaskan dari buah dan bunganya, demikianlah cinta kasih tidak dapat dilepaskan dari keindahan. Baginya, keindahan cinta kasih membuatnya lebih cenderung berada di dalam wilayah hati dan perasaan serta karakter yang subyektif dimana keindahan berakar pada hati yang terpesona dan hati yang berhasrat kepadanya. (And beauty is not need but an ectassy. It is not a mouth thirsting nor an empty hand streched forth. But rather a heart inflamed and soul enchanted). Bagi Gibran, meskipun hidup itu begitu pahit, namun cinta tetap meninggalkan keindahan kenangan bagi setiap mereka yang memperjuangkan cinta kasih, justru itulah keindahan cinta kasih. Baginya, tidak ada alasan untuk mundur dari sebuah penolakan maupun menolak cinta kasih. Kalau menolak maupun memilih mundur, berarti mereka telah mengingkari nilai yang berharga dalam hidup serta telah menyelewengkan fitrah dari Sang Maha Kuasa.

3. Cinta Kasih dan Tanpa Pamrih. (Love gives naught but itself and takes naught but from itself, Love possesses not nor would be it be possessed, For love is sufficient unto love). Ketulusan dan ketiadaan pamrih dalam cinta kasih banyak dianggap orang sebagai inti utama dari cinta yang paling sulit untuk diwujudkan. Problemnya, manusia menjadikan egoisme dirinya sebagai penyakit dalam dunia cinta

4. Cinta Kasih dan Penyucian. Penyucian di sini adalah terwujudnya jiwa-jiwa murni dan manusiawi dalam cinta kasih. Cinta kasih yang dibaca oleh Gibran sebagai fitrah manusia yang harus digodok dan diproses semakin peka, tajam, kuat sampai cinta itu murni. Cinta kasih yang sebenarnya bagi Gibran tidak dapat lepas dari Allah, sesama (dan kekasih) dan alam semesta. Mengapa demikian? Pertama, cinta kasih berasal dari Allah, akan kembali kepada Allah, berada di dalam Allah dan bagian dari diri Allah. Di sini Gibran tidak mempermasalahkan agama apa dan Tuhan yang mana. Ia mengembangkan konsep cinta kasih yang universal (universal love). Baginya, adalah menjadi seorang bijaksana pada saat dirinya mencintai dan menghormati Allah. Caranya? Hidup sewajarnya sesuai kemanusiawian dan keharmonisan hidup. Kedua, cinta kasih mengutamakan sesama karena cinta kasih adalah universal, tidak mengenal perbedaan suku, wilayah, ras, kelompok, agama namun harus ada asas keadilan dan bijaksana yaitu harus belajar memahami dan turut merasakan obyek yang dicintai. Berhubungan dengan romantisme, Gibran mengkaitkan cinta kasih dengan passion yang memberikan dorongan kesakralan cinta dalam pandangan pertama, ciuman pertama dan perkawinan. Ketiga, cinta kasih bergantung dengan alam semesta terutama kehidupan jasmani, maka bagaimana manusia dapat memakai dan memanfaatkan potensi alam sebagai kodrat/fitrah yang menjadi sumber hidup manusia. Keempat, bagi Gibran, alam dan manusia adalah refleksi diri Tuhan. Maka menjadi tanggung jawab manusia untuk menempatkan alam dalam posisi dan proporsinya yang tepat dan menjaganya tetap demikian. (To nature all are alive and all are free. The earthly glory of man is an empty dream, vanishing with the bubles in the rocky stream).

Di dalam Iman Reformed, segala sesuatu harus kembali kepada Allah (God centered), bersumber hanya kepada Firman Tuhan (based on God’s Word Alone), mendeklarasikan komitmen kita bukan karena perbuatan kita tetapi semua hanya karena iman (commited to faith alone), mendevosikan hidup kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup menuju Allah Bapa (devoted to Jesus) dan hidup di dalam janji Tuhan yaitu dalam anugerah Allah, penebusan hanya melalui Yesus dan menikmati pekerjaan Roh Kudus dalam diri orang percaya.

Bagaimana orang Kristen mencermati karakter utama cinta kasih dari Kahlil Gibran?

1. Cinta Kasih dan Kebebasan. Ketika Gibran menekankan pusat cinta kasih terletak pada hati, penekanan tersebut tidak salah, tetapi pengertian hatinya hanyalah berdasarkan akal budi, perasaan dan hasrat dirinya. Seharusnya Gibran kembali kepada hati yang tunduk kepada Allah untuk menjalankan apa yang disebut sebagai “The Heart of Christian Love” yaitu menjadi pengikut Kristus. (By this all men will know that you are my disciples, if you love one another.” – John 13:35). Hati Gibran tidak terpaut kepada Allah yang benar karena hatinya didasarkan dari reaksi humanisme dengan bahasa religius. Meskipun Gibran tercatat sebagai seorang penganut Katolik Maronite, namun melalui setiap tulisan-tulisannya justru memberikan sebuah implikasi bahwa Gibran tidak menggubris doktrin Allah dengan ketat serta merelatifkan semua agama dan kepercayaan di dalam konsep Allah yang “oneness”. Menurut hemat penulis, atas dasar ini, penulis dapat memberikan tanggapan bahwa Gibran memiliki konsep allah yang “unknown” dan Gibran memilih sikap ekumenis terhadap dunia publik soal ketuhanan. Penulis percaya bahwa hati tidak bisa lepas dari didikan kebenaran yang sejati … jika tidak, liar! (Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another, for he who loves his fellowman has fulfilled the law. The commandments “Do not commit adultery,” Do not murder,” “Do not steal,” “Do not covet,” and whatever other commandment there may be, are summed up in this one rule, “Love your neighbor as yourself.” Love does no harm to its neighbor. Therefore love is the fulfillment of the law. (Romans 13:8-10)). Kembali kepada didikan kebenaran justru penulis percaya bahwa itulah arti kebebasan yang benar yaitu tidak melepaskan diri dari sebuah “vocation” yang sakral yaitu menjadi pengikut Kristus yang kembali kepada standar Allah (God centered).

2. Cinta Kasih dan Keindahan. Gibran membaca cinta kasih dan keindahan di dalam hati perasaan, karakter subyektif dan akal budi yang berpusat dan bertuan kepada diri sendiri yang terluka akibat situasi. Dasar pemikiran Kahlil Gibran tidak lepas dari penderitaan hidupnya dimana identitasnya sebagai migran, penolakan sebagian masyarakat yang menertawakan dan mengkritik karya-karyanya serta kisah cintanya yang selalu gagal. Seringkali kita memiliki konsep klasik bahwa pengalaman hidup adalah guru dalam kehidupan kita, namun kita tidak dapat mencerna konsep klasik di atas secara parsial. Justru kita harus menangkap konsep klasik di atas dengan pemahaman totalitas yaitu sebagai seorang pengikut Kristus, setiap kita harus percaya terhadap setiap didikan Tuhan yang memimpin cinta kasih dan keindahan dalam mencicipi “taste of love” and “the beauty of love” milik Allah di dalam realita dunia yang fana. Justru kita seharusnya bergantung total terhadap tuntunan Allah dan Firman-Nya dalam memahami bahwa cinta kasih adalah fitrah/ kodrat Ilahi yang diberikan kepada manusia untuk dapat percaya, mengerti dan melaksanakan kehendak Allah (God’s will).

3. Cinta Kasih dan Tanpa Pamrih. Ketulusan dalam cinta lebih jauh bisa dibuktikan dari keteguhan sikap untuk tidak mundur ataupun melarikan diri saat cinta yang diterima atau diberikannya menemui kesulitan, kepahitan dan lain sejenisnya. Mundur dan lari dari cinta sama saja dengan hanya menginginkan keamanan dan kesenangan diri sendirinya dan bukti bahwa cinta yang diterima atau diberikannya bukanlah satu cinta yang tulus murni dan cinta yang sebenarnya, tetapi sebuah egoisme hedonis yang berupaya mencari kesenangan sendiri. Cinta kasih yang sempurna adalah cinta yang memberikan tetapi tidak mengharapkan apa-apa. Dalam hal ini, konsep Gibran mendasarkan cinta kasih dalam konsep ”agape” yaitu “selfless, giving love, unselfish, unconditional.” Namun, Gibran menafsirkan konsep “agape” hanyalah di dalam pengertian humanisme dan ekumenisme. Padahal konsep “agape” tidak dapat lepas dari “God’s love” dan “God is love” yang memberikan “the greatest commandment” kepada setiap orang percaya. Gibran telah mengaburkan serta menurunkan standar Allah ke wilayah “unknown”. Padahal “God’s love” dan “God is love” hanya terletak pada Allah yang mengasihi dunia ini sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus, Anak Allah untuk menebus dosa manusia dan memberikan hidup kekal. (For God so loved the world that he gave his one and only Son, that whoever believes in him shall not perish but have eternal life- John 3:16).

4. Cinta Kasih dan Penyucian. Cinta kasih harus terus digodok/ diproses sampai murni, namun standar kemurnian terletak di mana? Hati, perasaan, akal budi? Setiap manusia telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, termasuk Gibran. Jadi konsep hati, perasaan, hasrat, akal budi manusia tidak dapat menjadi penentu dari cinta kasih karena semuanya itu “fallen into sin”. Pertama-tama, originalitas cinta kasih adalah Allah sendiri - Kahlil Gibran pun menyadari hal tersebut, namun di saat dirinya mendefinisikan cinta kasih berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, sebenarnya kontradiksi yang muncul adalah ketika Gibran tidak mengerti apa yang dia katakan tentang cinta kasih yang berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, karena dia tidak tahu siapakah Allah sebenarnya yang dia percaya. Definisi cinta kasih harus kembali interpretasi yang tepat dan benar maka “application” pun dapat tepat dan benar yaitu sesuai Kitab Suci. Konsep tersebut diyakini oleh teolog-teolog Reformed seperti Richard Pratt, Jr dan John M. Frame. Kedua, cinta kasih dan sesama dari Gibran-pun tidak murni dari pemikiran Gibran karena justru kita melihat Gibran sangat menjunjung tinggi kesakralan cinta, seks, pernikahan berdasarkan kebenaran yang diajarkan oleh kekristenan. Dalam hal ini, kebenaran yang ada dalam diri Gibran adalah kebenaran Tuhan yang masih “dititipkan” dalam hidupnya sehingga Gibran tidak berhak untuk mengaburkan makna cinta kasih yang sesuai dengan Firman Tuhan dan Kebenaran-Nya menjadi cinta kasih yang “diekumeniskan”. Ketiga, konsep cinta kasih dan alam semesta dari Gibran secara sekilas masih dapat dipertanggungjawabkan, namun dasar pengertian Gibran hanya bertorientasi terhadap kelangsungan keharmonisan manusia tanpa peduli terhadap pentingnya “the true understanding” untuk mengelola potensi alam dengan benar dan menyadari signifikansi diri terhadap alam seharusnya menjadi sebuah kesaksian yang hidup sesuai dengan apa yang Allah mandatkan bagi manusia untuk berkuasa atas seluruh muka bumi dan mempertanggungjawabkan seluruhnya kepada Allah.

Sekali lagi, cinta kasih adalah dasar pemikiran Gibran untuk menjelajah serta menelaah secara sistematis, holistik dan radikal. Baginya, Cinta kasih adalah samudera yang kedalamannya tak dapat diukur. Namun, semuanya tidaklah cukup, apabila tidak dipahami di dalam “God Centered”, “In God’s Will”, “God’s Holy”, “God’s Truth”, dan “God’s Understanding”. Penulis percaya, di saat kita kembali memahami seluruhnya, di dalam konsep Ketuhanan yang benar, barulah kita dapat mengerti setiap estetika, etika, sosial dan teologi dengan benar.


In Christ

Ev. Daniel Santoso, Shanghai.