Reformed Faith & Gibranism: On Human Antropology

Kahlil Gibran, dikenal sebagai filsuf Arab paling populer dalam perkembangan filsafat Timur Tengah di abad 19. Dalam karyanya, Gibran banyak dipengaruhi oleh Leonardo Da Vinci, Shakespeare, William Blake, Friedrich Nietzsche dan sebagainya. Gibran seorang Katolik Maronite, namun dirinya juga banyak dipengaruhi oleh Islam, terutama Mistik Sufisme yang membangun dirinya untuk mengambil keputusan diri untuk melakukan usaha “unity” terhadap semua agama. Gibran dikenal pernah memberikan kritikan terhadap kesultanan Usmaniyah yang lemah, sifat munafik organisasi gereja, peran kaum wanita di Asia Barat hanyalah sebagai pengabdi . Akibatnya, Gibran pernah dikucilkan oleh gereja Maronite dan sebagainya. Namun sindiran Gibran mampu mengubah mereka untuk bersikap lebih tepat terhadap masyarakat. Menurut seorang pengamat, salah satu sumbangsih dari Gibran terhadap Lebanon adalah pemerintahan demokratis yang menerapkan sistem kepemimpinan atas pemerintah sesuai keputusan Konstusi formal tahun 1990 bahwa (sebagai contoh) Presiden haruslah Katolik Maronite, Perdana menteri harus Muslim Suni. Wakil Perdana Menteri dari Kristen Orthodoks, Ketua Parlemen adalah Muslim Syiah. Deputi Perdana Menteri dari Yunani Ortodoks. Kalau kita melihat secara sekilas, populasi Katolik Maronite bukanlah mayoritas di Lebanon, namun dalam pemerintahan-pun kaum minoritas dapat mengambil tempat dalam pemerintahan. Mungkin ini adalah hal yang menarik untuk direnungkan. Mungkinkah usulan Prof. Dawam Rahardjo (cendekiawan Islam liberal) bahwa lebih baik presiden dan wakil presiden berasal dari kaum minoritas dapat terlaksana di Indonesia?

Bagaimana kita dapat memahami pemikiran Antropologi Kahlil Gibran dalam “The Prophet”? Menurut Gibran, Pada dasarnya manusia itu baik namun manusia belum utuh karena manusia memiliki kelemahan. Baginya manusia adalah makhluk yang masih di dalam “process becoming” dalam cinta kasih dan keadilan. Memang, manusia bebas untuk memutuskan apa yang terbaik bagi mereka untuk melakukan namun manusia juga terbatas alias tidak bisa mencukupi sendiri karena manusia membutuhkan “others”. Di dalam “others”, justru kita semakin didewasakan, diperlengkapi dan disempurnakan. Gibran percaya bahwa manusia tidak bisa lepas dari Allah (Manusia harus selalu tunduk di bawah kuasa dan bergantung kepada Allah), diri (manfaatkan talenta dan kemampuan yang dianugerahi-Nya dalam akal budi dan perasaan), orang lain (saling dewasa, diperlengkapi dan disempurnakan dalam cinta dan keadilan), alam (manusia adalah subyek yang berhak memakai alam untuk kebahagiaan, bukan kesenangan).

Gibran membagi hidup manusia di dalam tiga bagian:

1. Kelahiran. Kehidupan manusia dimulai dengan kelahiran (awal dari sebuah kehidupan). Gibran percaya bahwa dari keabadian kepada keadaan penuh tangisan, perkelahian, pergaulan dunia asing yang samar-samar, mengerikan, membingungkan, kadang bermakna kadang tidak bermakna. Ia menekankan, sejak lahir manusia membawa sebuah pertanyaan besar soal arti dan tujuan hidup, makna keberadaan khususnya, inilah awal keziarahan manusia. Gibran percaya asal usul kehidupan adalah keabadian (Allah) dan hidup manusia tidak dapat lepas dari peranan Allah. Gibran menuliskan ...” Allah, aku adalah hambamu. Kehendak-Mu yang tersembunyi adalah hukum-Mu dan terhadap-Mu aku akan patuh selamanya. Allah Maha Pencipta, aku adalah makhluk ciptaan-Mu. Engkau telah menciptakan aku dari seonggok lumpur dan semuanya akan kembali pada-Mu. Engkau melahirkan aku dengan penuh kasih sayang dan dengan cinta kasih dan kebaikan, akupun mewarisi kerajaan-Mu.” Bagi Gibran, Allah adalah Allah yang Maha Tahu (omniscient) dan Allah yang Maha Hadir (omnipresent) baik dalam iluminatif, profetis, liberatif dan transformatif. Gibran percaya bahwa seharusnya agama dan gereja melaksanakan apa yang Tuhan kerjakan yaitu harus “down to earth”, harus “turun”, harus “berpijak pada dunia”, harus “lihat sungguh-sungguh”, harus “terlibat secara nyata” terhadap persoalan dunia dan membawa misi kebaikan Ilahi dan abadi.

2. Suka Duka. Bagi Gibran, memikirkan kehidupan adalah bagian dari kegelisahan yang normal untuk membuka kedok diri, gelisah dan terus mengembara. Hidup tidak lain adalah suka dan duka, tawa dan airmata, senang dan menderita. Kenapa hidup manusia ada suka duka? Gibran percaya bahwa: Pertama, ia mengandaikan adanya Allah. Allah adalah jawaban dari setiap pertanyaan dan tujuan hidup manusia karena Allah itu baik, penuh kuasa dan Ia adalah Esa. Keesaan Allah dapat menjawab setiap kebingungan manusia. Kedua, ia mengandaikan adanya cinta kasih. Cinta kasih adalah esensi eksistensi manusia untuk melahirkan, memproduksi, memelihara dunia di dalam keabadian. Cinta kasih digambarkan di dalam dua bentuk : Eros dan Agape. Bagi Gibran, Eros adalah nafsu yang sakral karena tubuh adalah Bait Allah yang hidup di dalam kebahagiaan, bukan kesenangan. Luar biasa! Agape adalah cinta tanpa syarat yang sakral, kekuatan menanggung penderitaan, kesusahan, kemalangan untuk memaknainya. Luar Biasa! Ketiga, Ia mengandaikan adanya akal budi dan pengetahuan. Memang hidup manusia tidak dapat lepas dari penderitaan dan pengalaman kegagalan adalah awal sebuah pencerahan. Cinta adalah esensi hidup manusia, manusia harus mengabdi pada kebenaran dengan menemukan kebijaksanaan di dalam penderitaan.

3. Kematian. Berhentinya aktivitas jasmani manusia di dalam dunia. Gibran membaca kematian hanyalah kematian secara biologis, bukan secara spiritual. Hidup adalah ziarah yang bergerak dari Allah dan kembali kepada Allah. Dia yang mencipta, Dia yang menebus. Melalui kematian dan kehidupan, manusia menemukan makna cinta sejati yaitu bersatu di dalam purifikasi dengan Sang Pencipta. Maka ketika manusia mati, jiwanya tetap abadi, tidak akan hancur tapi akan mengalami reinkarnasi cinta dalam keabadian.


Bagaimana Orang Kristen mencermati filsafat Antropologi Kahlil Gibran?

1. Kahlil Gibran memiliki konsep bahwa Allah itu Esa dan keesaan Allah dapat menjawab setiap pertanyaan manusia, termasuk mendamaikan semua agama. Bukankah konsep ini dekat dengan bangsa Indonesia? Semangat Bhinneka Tunggal Ika dengan dasar “unity in diversity” mengimplikasikan bahwa semua agama sama dan kebenaran semua agama sama di dalam keesaan Allah. Memang secara nasional, bangsa Indonesia memiliki pengertian “unity in diversity”, namun benarkah pengertian tersebut adalah benar? Hanya di dalam Alkitab, Allah mengungkapkan diri-Nya sebagai yang kekal, Pencipta yang menjadikan alam dengan Firman-Nya, Sang Pencipta alam semesta. Ketika Tuhan menciptakan dunia, dunia sempurna adanya. Segalanya baik. Kemudian Dia menciptakan Adam dan Hawa dan memberi mereka kehendak bebas sehingga mereka dapat memilih mau mengikuti dan menaati Tuhan atau tidak. Namun Adam dan Hawa, manusia yang pertama yang diciptakan Tuhan, digoda oleh Iblis untuk tidak taat kepada Tuhan dan mereka berdosa. Akibatnya mereka (dan semua orang yang lahir kemudian, termasuk kita) tidak dapat memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan. Maka Tuhan membuka jalan supaya kita dapat dipersatukan dengan Dia di surga. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Roma 6:23). Yesus dilahirkan supaya Dia dapat menunjukkan jalan kepada kita dan mati bagi dosa-dosa kita sehingga kita tidak perlu mati. Tiga hari setelah kematian-Nya, Yesus bangkit dari kubur (Roma 4:25), membuktikan kemenangan-Nya atas kematian. Dia menjembatani jurang antara Allah dan manusia sehingga kita dapat memiliki hubungan pribadi dengan Allah jika kita mau percaya.

“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3). Kebanyakan orang percaya tentang Tuhan, termasuk Iblis. Tapi supaya diselamatkan, kita perlu berbalik kepada Tuhan, menjalin hubungan pribadi dengan Dia, berbalik dari dosa-dosa kita dan mengikuti Dia. Kita mesti percaya kepada Yesus dalam segala hal yang kita miliki dan lakukan. “Allah memungkinkan manusia berdamai dengan Dia, hanya kalau manusia percaya kepada Yesus Kristus. Allah berbuat ini untuk semua orang yang percaya kepada Kristus; sebab tidak ada perbedaannya” (Roma 3:22). Alkitab mengajarkan kita bahwa tidak ada jalan lain untuk mendapatkan keselamatan selain melalui Kristus. Yesus berkata dalam Yohanes 14:6, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6). Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan karena Dia adalah satu-satunya yang dapat membayar hutang dosa kita (Roma 3:23). Tidak ada agama lain yang berani mengajarkan dalamnya dan seriusnya dosa kita dan akibat-akibatnya. Tidak ada agama yang dapat menebus dosa saudara dan saya selain penebusan Yesus. Tidak ada satupun “pendiri agama” lain yang adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14 – satu-satunya cara untuk melunasi hutang dosa. Yesus haruslah Allah supaya Dia dapat membayar hutang kita. Yesus harus menjadi seorang manusia supaya Dia bisa mati. Keselamatan hanya tersedia melalui iman di dalam Yesus Kristus! “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kisah 4:12).

2. Gibran tidak memberikan penekanan manusia jatuh ke dalam dosa. Ia hanya menekankan manusia sedang di dalam “process becoming” karena manusia belum utuh. Meskipun penulis tahu bahwa realita dosa , namun Gibran kelihatannya tidak tertarik untuk mengekpos tema dosa yang mempengaruhi “emerging churches”, “physchological therapy”, dan sebagainya. Bukan dosa yang ditekankan namun “excuse” karena manusia lemah. Memang, tema dosa terlalu “to the point” sehingga banyak orang “tidak kuat” mendengar berita yang “tidak enak didengar”. Kembali kepada Alkitab : manusia jatuh ke dalam dosa adalah akibat manusia tidak taat kepada Allah (Kejadian 3). Akhirnya, tidak ada seorangpun manusia dapat menyelesaikan masalah dosa karena tidak ada seorangpun manusia yang tidak terdistorsi oleh dosa. Standar manusia, etika manusia, kebenaran manusia telah terpolusi oleh dosa. Manusia tidak mungkin tidak berdosa karena tidak ada seorangpun manusia yang dapat menyelesaikan perkara dosa di dalam dunia ini (Roma 3:9-20). Hanya Allah yang dapat menebus dosa manusia, yaitu hanya di dalam Yesus Kristus, satu-satunya. Amin!

3. Gibran tidak menekankan konsep penebusan hanya di dalam Yesus Kristus,satu-satunya. Namun, Gibran hanya menekankan “Purifikasi Allah” dalam keabadian yang “unknown”. Sikap Gibran lebih “moderat” dan “ekumenikal” dalam berbicara dengan purifikasi Allah terhadap hidup manusia. Namun, sikap tersebut justru membawa manusia hanya mengerti Allah di dalam wilayah keabadian yang “unknown”, tidak di dalam Yesus Kristus sebagai “the one and the only way” (Yohanes 14:6). Kekristenan hanya berpusat pada peristiwa-peristiwa sejarah tentang Yesus, melalui kelahiran-kematian-kebangkitan-kedatangan Yesus kedua kali. Yesus, bukan sekadar “agama” dibandingkan dengan agama di seluruh dunia. Yesus adalah Pencipta dunia dan satu-satunya Penebus sejati. Keselamatan hanya melalui Dia (Kisah Para Rasul 4:12).

4. Setelah kematian, adakah reinkarnasi? Gibran memiliki konsep kematian hanya fisikal, ada keabadian jiwa yang tidak akan binasa karena setelah manusia mati, ada reinkarnasi yang beresensi cinta kasih dan keadilan, kembali ke dalam Tuhan. Jadi, kematian bukan pesimis, kematian bukan akhir segala-galanya, kematian adalah awal kemenangan kehidupan Allah berikan roh kesempurnaan di dalam “reinkarnasi cinta”. Benarkah Gibran percaya kepada “reinkarnasi”? Penulis lebih berpendapat bahwa Gibran terlalu berani menggunakan “vocabulary” reinkarnasi di dalam menggambarkan keabadian. Namun, ada pendapat dari beberapa pengamat bahwa memang Gibran percaya terhadap reinkarnasi. Apakah itu reinkarnasi? Reinkarnasi versi Buddhisme dan Hinduisme, sebuah konsep kelahiran kembali dalam bentuk kehidupan lain, tidak fisikal namun jiwa dan roh bersatu dengan Tuhan (moksha). Adakah orang Kristen percaya soal “reinkarnasi”? Rupanya, ada orang Kristen yang percaya soal reinkarnasi, bahkan mereka mengutip apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri. Yesus berkata bahwa Yohanes Pembaptis adalah “reinkarnasi” dari Elia (Matius 17:11-13/ Markus 9:11-13). Benarkah Yohanes Pembaptis adalah “reinkarnasi” Elia? Alkitab mencatat : bukan!!! (Yohanes 1:21). Meskipun ada persamaan antara Elia dengan Yohanes Pembaptis yaitu di dalam keberanian (Lukas1:17) dan pakaian mereka (II Raja 1:8, Matius 3:4), namun Yohanes Pembaptis bukan Elia! Lihatlah, manusia ditetapkan untuk mati satu kali dan sesudah itu dihakimi (Ibrani 9:27). Jadi, orang Kristen hanyalah percaya terhadap “Inkarnasi” bahwa Yesus adalah Anak Allah menjadi manusia. Hanya di dalam “Inkarnasi” Kristus, kita dapat belajar memahami dengan sukacita bahwa:

• Allah begitu mencintai dunia dan segala isinya. Ketika Dia menciptakan dunia ini dan segala isinya, Dia melihat bahwa ciptaan-Nya adalah baik adanya (Kej 1:31). Dia mengasihi ciptaan-Nya. Oleh karena itu Dia memberkati dan menguduskannya (Kej 2:3). Dan Allah rindu agar kemuliaan-Nya dinyatakan dalam diri manusia.

• Begitu besar cinta-Nya sehingga Allah rela menyerahkan Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus dosa-dosa manusia di atas kayu salib ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Kalau Yesus Kristus tidak mati untuk menebus dosa-dosa kita, maka tidak ada pengharapan bagi umat manusia.

• Allah mengaruniakan hidup kekal bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Allah tidak berniat untuk menghakimi dunia melainkan untuk menyelamatkannya melalui Yesus Kristus dan Allah memberikan jaminan hidup kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Antropologi Kahlil Gibran kelihatan sangat “religius”, mungkin dapat dikatakan sangat “kristen”. Namun, Penulis berpendapat bahwa akar antropologi Kahlil Gibran jelas berbeda dengan Teologi Kristen. Gibran terlalu berani “merelatifkan” Allah dan manusia di dalam bahasa sastra. Sebagai orang kristen, panggilan kita adalah panggilan sebagai garam dan terang dunia, memberikan koreksi atas nilai moral dalam masyarakat berdasarkan Titah-Nya (Matius 5:13) dan terang dunia; menjadi teladan yang suci dan berbijaksana di atas dasar cahaya ilahi Alkitab sebagai Firman Tuhan, yang menuntun orang berdosa kepada Yesus Kristus (Matius 5:14). Pada akhirnya, pemahaman yang benar soal Allah dan manusia harus kembali kepada jawaban yang benar yaitu “Back to the Bible”.


In Christ.

Daniel Santoso, Tianjin.