LIPUTAN SEMINAR MUSIK
A Gift from God: Christian Sacred Music
“Mengapa kita belajar
sejarah? Mengapa penting bagi kita untuk mengetahui sejarah musik gerejawi?
Apakah belajar sejarah hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
ketertarikan pada kejadian-kejadian masa lampau saja?” Pertanyaan ini
dilontarkan oleh Swing Lau, pembicara asal STRII Hongkong yang datang bersama
rombongan ke Medan untuk melayani jemaat di kota Medan dan sekitarnya selama
lebih kurang satu minggu. Swing membawakan seminar musik ‘A Gift from God:
Christian Sacred Music’ pada hari Kamis malam 20 Oktober 2011 yang bertempat di
ruang ibadah GRII Medan. Seminar ini dihadiri oleh lebih kurang 50 orang
peserta yang sebagian besar adalah jemaat GRII Medan dan beberapa jemaat gereja
lainnya yang juga ingin belajar lebih dalam mengenai musik gerejawi.
Di bagian pembukaan,
Swing memberikan pernyataan bahwa pada dasarnya belajar sejarah itu adalah
suatu keharusan karena melalui sejarahlah kita tahu bagaimana kita bisa sampai
pada hari ini. Kita tidak boleh memungkiri bahwa apa yang kita nikmati pada
hari ini ialah hasil perjuangan dari mereka di masa lampau. Hal ini juga
berlaku pada musik gerejawi. Lagu-lagu himne yang kita nyanyikan di dalam ruang
ibadah setiap hari Sabat bukan ada dengan sendirinya, tetapi mengalami proses
perkembangan dari musik-musik di abad pertama sampai sekarang ini. Di dalam
seminar ini, pembicara hanya membawakan perkembangan musik gerejawi dari abad
pertama hingga masa Reformasi di mana dengan jelas dapat kita lihat tangan
Tuhan yang terus menyertai dan memelihara musik-musik yang baik.
Dimulai dengan melihat
kebudayaan Barat yang mendapat pengaruh dari Yunani Romawi dan Kristen
Judaisme. Pemikiran Yunani Romawi tidak memiliki pengaruh secara langsung
terhadap musik gerejawi, namun ada teori-teori yang dikemukakan oleh para
filsuf di zaman itu yang dipegang dan diadopsi oleh kekristenan Medieval (abad
pertengahan). Dua filsuf Yunani yang terkenal yaitu Plato dan Aristoteles
memberikan pemikiran yang cukup baik tetapi belum sempurna.
Yunani
Yang pertama, musik yang
kita terima adalah suatu imitasi dari harmoni kosmik, sesuatu yang tidak kita
lihat secara langsung namun mereka percaya bahwa ada hubungan antar segala
sesuatu di tengah-tengah dunia ini dan inilah yang kita sebut harmoni. Kedua, musik
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jiwa manusia dalam hal ini moralitas,
sebab musik mewakili keharmonisan dalam alam semesta sehingga dapat memberi
harmonisasi di dalam hubungan sosial antar manusia.
Sehingga harmoni kosmik
yang bagi orang Yunani merupakan sesuatu yang terjadi secara kebetulan dan
alamiah, orang Kristen memiliki pengertian yang lebih baik yaitu harmoni
ciptaan sehingga kita percaya bahwa asal mula segala yang baik ialah dari
Allah. Pembicara lalu menambahkan bahwa di zaman post-modern ini justru telah
membuang Tuhan dan meniadakan ‘created harmony’ sebagai sesuatu sebab
keberadaan musik, bagi mereka semuanya kembali kepada individu. Musik tidak
hanya menghasilkan moralitas yang baik, tetapi terlebih lagi berpengaruh pada
kerohanian kita. Sebagai kesimpulannya, kebudayaan Yunani memberikan pemikiran
yang baik mengenai cosmic harmony
bagi musik gerejawi.
Selain Yunani Romawi,
Kristen Yahudi juga memberi pengaruh yang signifikan bagi musik gerejawi.
Mereka memiliki tradisi menyanyikan Mazmur di dalam ibadah, terutama dalam
Perjamuan Kudus. Hal ini juga dapat kita lihat di dalam Injil Markus 14: 26,
pada malam perjamuan terakhir sebelum Yesus disalibkan, juga dicatat bahwa
mereka menyanyikan nyanyian pujian. Pembicara mengingat bahwa Pdt. Stephen Tong
pernah menafsirkan bahwa pujian yang dinyanyikan oleh Tuhan Yesus dan para
murid kemungkinan besar diambil dari Mazmur 118 karena Mazmur ini
dinyanyikan oleh orang Yahudi pada
setiap perayaan Paskah. Selain itu, orang Yahudi juga mempunyai tradisi
menghafal ayat Alkitab. Tradisi Yahudi inilah yang memberikan pengaruh bagi
musik gerejawi hari ini.
Kemudian, pada akhir
abad ke-4, di saat Romawi terbagi dua menjadi Romawi Timur, kekristenan yang
berpengaruh ialah Kristen Ortodoks dan Romawi Barat dengan Katolik Roma, yang
kemudian muncul Reformasi. Dari abad ke-5 sampai abad ke-15, banyak orang yang
menyebutnya sebagai zaman kegelapan di mana seakan-akan tidak ada campur tangan
Tuhan di dalamnya. Pembicara percaya bahwa tangan Tuhan justru tidak pernah
lepas dalam memelihara musik yang dipakai di dalam gereja sebab di zaman inilah
Gregorian Chant berkembang. Pembicara lalu memperdengarkan dan memperlihatkan
notasi yang dipakai oleh Gregorian Chant. Garis paranada yang digunakan hanya
terdiri dari empat baris, melodi yang dinyanyikan sangat mengalun dan hampir
tidak ada lompatan nada yang sangat jauh dan bahasa yang digunakan adalah
bahasa Latin.
Sampai pada masa
Reformasi, musik gerejawi pun mengalami perombakan sehingga lagu-lagu pujian
yang dulunya tidak boleh dinyanyikan oleh jemaat, kemudian diperbolehkan untuk
dinyanyikan bersama oleh para jemaat secara unison
(satu suara), suara yang lain dimainkan oleh pipe organ. Selain itu, lagu pujian mulai diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa lainnya sehingga setiap jemaat dapat menyanyikan lagu pujian
dalam bahasa yang dimengerti. Melodi lagu pun tidak lagi mengalun seperti lagu Gregorian chant. Musik menjadi salah
satu wadah kita sebagai manusia untuk datang kepada Allah, untuk memuji dan
meninggikan Allah kita.
Di bagian penutup, Swing
mengingatkan kita bahwa Alkitab sendiri tidak memberikan terlalu banyak doktrin
mengenai musik, sehingga ketika kita membaca di dalam Alkitab mengenai musik
dan puji-pujian, hendaklah kita berhati-hati di dalam konteks budaya dan
konteks secara keseluruhan dari Alkitab itu sendiri. Jangan memutlakkan apa
yang tidak mutlak. Terakhir, Swing membagikan berkat Tuhan atas pergumulan dia
mengenai talenta musik yang Tuhan berikan bagi dia. Swing pernah menggumulkan
apakah kecintaannya terhadap musik juga merupakan wujud pemberhalaan seperti
halnya kecintaannya terhadap sesuatu yang lain di luar Tuhan. Tuhan
mengingatkan bahwa di saat kita meletakkan sense
of secure kita pada sesuatu di luar Kristus, kita sudah memberhalakan hal
itu. Marilah kita mengerti bahwa orang Kristen seharusnya menerima talenta
sebagai suatu pemberian dari Allah yang harus dikembalikan bagi perkembangan
rumah Tuhan sendiri dengan motivasi tertinggi yaitu untuk memuliakan Tuhan.
Soli deo Gloria
(AL)